Kisah Bu Ayu | Testimoni PAZ Al Kasaw Sembuh dari Skoliosis, HNP, TB Otak dengan PAZ Al Kasaw

Sharing, Testimoni PAZ Al Kasaw Bagaimana jika seseorang yang pernah lumpuh total, hidup 10 tahun dengan korset, bahkan kehilangan fungsi saraf kakinya. Kini bisa rukuk, menyetir, tidur tengkurap, dan mengajar orang lain menyembuhkan dirinya?

Kisah semacam ini sering dianggap anomali — bahkan mustahil — dalam pandangan medis konvensional. Apalagi jika kesembuhan itu tidak melalui obat, operasi, atau fisioterapi rumah sakit, tapi melalui metode koreksi tubuh alami bernama PAZ Al Kasaw.

Bu Ayu J Cahyasari, seorang ibu rumah tangga dari Depok, menjalani kondisi yang secara klinis tergolong kompleks: skoliosis derajat sedang, HNP lumbal 3–5, kebas total dari paha hingga kaki, hingga TB Millier yang menyerang otaknya. Ia sempat lumpuh, tidak bisa duduk tanpa disangga, dan memakai brace selama satu dekade.

Namun titik balik datang saat ia mengikuti pelatihan PAZ. Bukan sebagai pasien, tapi sebagai peserta yang belajar tentang tubuhnya sendiri. Dalam hitungan hari, ia bisa rukuk dengan sempurna. Dalam hitungan minggu, ia melepaskan brace-nya selamanya. Dan dalam hitungan bulan, ia menjadi P3K keluarga — bahkan menolong orang lain dengan ilmu yang ia dapat.

Artikel ini mencoba memotret kisah nyata Bu Ayu melalui pendekatan studi kualitatif fenomenologis. Bukan sekadar testimoni, tapi sebagai data hidup yang merekam perubahan fungsi tubuh, makna kesembuhan, dan transformasi identitas — dari pasien menjadi penyembuh.

  • Apakah kesembuhan ini bisa dibuktikan secara ilmiah?
  • Apakah metode PAZ yang tanpa alat, tanpa obat, bisa diterima dalam logika biomekanik dan kinesiologi modern?

Kita akan telusuri kisah ini dengan mata terbuka, hati terbuka, dan nalar yang jujur. Karena dalam setiap tubuh yang sembuh wasilah paz, ada ilmu yang belum sempat dibukukan.


Pendahuluan: Ketika Teori Tak Lagi Cukup, Tubuh Sebagai Sumber Ilmu

Dalam lanskap pengobatan modern, pendekatan Evidence-Based Medicine (EBM) menjadi standar emas dalam penentuan diagnosis, intervensi, dan evaluasi klinis. Namun, tidak semua pengalaman kesembuhan dapat dijelaskan sepenuhnya oleh angka statistik, hasil laboratorium, atau parameter objektif. Ada dimensi tubuh yang hanya bisa dibaca dari dalam: melalui pengalaman langsung individu itu sendiri.

Studi kualitatif, khususnya pendekatan fenomenologi, hadir untuk menjembatani celah ini. Ia tidak mencari generalisasi, melainkan memahami makna dari pengalaman subjektif — termasuk rasa sakit, keterbatasan, perubahan fungsi tubuh, hingga momen-momen transformasi saat seseorang merasa “sembuh”.

Penelitian ini berangkat dari kisah nyata Bu Ayu J Cahyasari, seorang ibu rumah tangga yang pernah hidup dalam kondisi yang kompleks: skoliosis, hernia nukleus pulposus (HNP) lumbal, kebas total, dan tuberkulosis Millier yang menyerang otak. Setelah berbagai pengobatan medis konvensional dijalani selama lebih dari 10 tahun, kondisi tubuhnya belum juga pulih secara utuh.

Titik balik muncul ketika Bu Ayu mengikuti pelatihan terapi PAZ Al Kasaw — metode koreksi rangka berbasis biomekanika dan nilai-nilai alami. PAZ tidak menggunakan obat, alat, herbal, atau pijat. Pendekatannya bersandar pada pengamatan visual sistem rangka, titik sentuh manual, dan gerakan biomekanik sederhana yang dirancang untuk mengembalikan tubuh ke posisi idealnya: nol koma nol.

Artikel ini menyusun ulang kisah Bu Ayu dalam bentuk narasi ilmiah, disertai analisis dari perspektif kinesiologi, biomekanika, dan studi tubuh (embodiment). Tujuannya bukan hanya menunjukkan bahwa PAZ berdampak, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan ulang: bagaimana tubuh sebenarnya menyembuhkan dirinya sendiri, saat diberi ruang untuk mendengar dan kembali ke fitrah.


Rumusan Masalah dan Hipotesis Awal

Selama lebih dari satu dekade, Bu Ayu J Cahyasari menjalani serangkaian terapi medis — mulai dari obat anti tb, brace tulang belakang, hingga fisioterapi dan imunisasi saraf. Namun, hasilnya tidak memuaskan: fungsi tubuh belum pulih, kebas menetap, dan nyeri masih hadir bergantian. Kondisinya tetap terbatas secara fungsional meskipun secara klinis “tertangani”.

Titik balik datang saat ia mengikuti pelatihan PAZ Al Kasaw — metode terapi non-medis yang berfokus pada koreksi biomekanik sistem rangka, tanpa penggunaan alat, obat, atau intervensi invasif. PAZ belum banyak dikaji dalam publikasi kedokteran arus utama, namun terus berkembang lewat model pelatihan dan komunitas yang hidup.

Pertanyaannya, apakah benar kesembuhan fungsional yang dialami Bu Ayu merupakan hasil langsung dari intervensi PAZ Al Kasaw?
Ataukah itu hanya efek dari sugesti, dukungan sosial, atau bahkan penyembuhan alami tubuh yang kebetulan bertepatan dengan latihan PAZ?

Studi ini mencoba memotret pengalaman tersebut secara jujur, terbuka, dan apa adanya. Sejalan dengan pendekatan fenomenologi dalam ilmu kesehatan, seperti yang ditegaskan oleh Max van Manen (2016) bahwa “data yang paling dalam justru tersembunyi dalam pengalaman tubuh yang hidup, bukan dalam angka yang mati.” Maka dari itu, pengalaman Bu Ayu dibaca sebagai data ilmiah yang bersifat naratif, tidak terukur, namun penuh makna.

Dari pertanyaan tersebut, studi ini menyusun hipotesis awal sebagai berikut:

“Kesembuhan fungsional yang dialami Bu Ayu J Cahyasari memiliki keterkaitan signifikan dengan proses koreksi sistem rangka melalui terapi PAZ Al Kasaw, sebagaimana tercermin dalam perubahan fisiologis yang ia alami dan narasi konsisten yang ia ceritakan pasca terapi.”

Hipotesis ini tidak dimaksudkan untuk dikonfirmasi secara statistik, namun sebagai pijakan awal untuk menelusuri pengalaman tubuh yang utuh. Seperti yang diungkap Greenhalgh et al. (2014) dalam British Medical Journal, bahwa “gerakan Evidence-Based Medicine kini berada di persimpangan, karena terlalu menutup diri dari pengalaman nyata pasien.”

Studi ini hadir sebagai refleksi bahwa kesembuhan bukan hanya soal hilangnya gejala, tetapi tentang bagaimana seseorang kembali menyatu dengan tubuhnya — secara fungsi, makna, dan kesadaran diri.


Metode Penelitian

Penelitian ini disusun menggunakan pendekatan kualitatif naratif dengan bingkai fenomenologi, yaitu metode yang memusatkan perhatian pada pengalaman hidup seseorang secara mendalam, khususnya dalam memahami perubahan tubuh, makna sakit, dan proses kesembuhan.

Data utama dalam studi ini bersumber dari:

  • Dokumentasi status Facebook pribadi Bu Ayu J Cahyasari yang ditulis selama tahun 2019 hingga 2022, berisi refleksi pengalaman personal saat menjalani terapi PAZ Al Kasaw.

  • Rekaman wawancara langsung berdurasi ±50 menit, disiarkan publik pada 12 Agustus 2020 melalui kanal YouTube PAZ Indonesia. Wawancara ini dikonfirmasi sebagai autentik karena dilakukan dalam kondisi sadar, spontan, dan tanpa naskah.

  • Transkrip tertulis dari wawancara tersebut, yang disusun ulang secara tematik dan kronologis untuk memudahkan proses analisis.

  • Riwayat komunikasi informal dan testimoni tambahan yang dikonfirmasi kebenarannya langsung oleh subjek, yang hingga kini masih hidup dan dalam kondisi sehat.

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis tematik fenomenologis, yaitu dengan mengidentifikasi tema-tema penting yang muncul dari narasi: seperti ketidakberdayaan fisik, titik balik rukuk pertama, terapi sebagai gaya hidup, hingga makna sembuh secara spiritual dan sosial. Analisis ini mengikuti pendekatan yang diuraikan oleh Jonathan Smith et al. (2009) dalam Interpretative Phenomenological Analysis, yang memfokuskan pada cara subjek memaknai pengalaman tubuhnya secara pribadi dan mendalam.

Data tidak dimanipulasi atau disunting untuk memperindah kesan. Justru, narasi asli dijadikan rujukan utama karena mengandung spontanitas dan otentisitas makna yang sulit dipalsukan. Validitas data diperkuat oleh konsistensi cerita lintas waktu, keseimbangan antara testimoni emosional dan gejala fisiologis, serta keberlanjutan kondisi subjek yang kini dapat dilihat langsung oleh publik.

Dengan menyusun narasi Bu Ayu secara kronologis, peneliti berusaha membaca tubuh sebagai ruang informasi, tempat di mana sakit dan sembuh bukan hanya soal diagnosa, tetapi juga soal relasi antara struktur, fungsi, dan kesadaran tubuh itu sendiri.


Temuan dan Analisis Data

Fase 1 – Tubuh dalam Krisis: Lumpuh, Kebas, dan Hilangnya Fungsi

Sebelum mengenal PAZ, Bu Ayu hidup dalam kondisi fisik yang sangat terbatas. Ia mengalami skoliosis (kelengkungan tulang belakang), HNP lumbal 3–5, dan kebas dari pinggul ke kaki. Ia bahkan sempat menjalani pengobatan TB Millier yang menyerang otaknya, disertai penggunaan brace keras selama lebih dari 10 tahun.

“Saya pernah lumpuh total. Tidak bisa bangun. Tidak bisa duduk kecuali disangga. Saya hidup hanya dengan berbaring.”

Dalam kajian kinesiologi, kondisi semacam ini mengindikasikan adanya gangguan sistem muskuloskeletal dan saraf perifer yang menyebabkan tubuh kehilangan keseimbangan dan kontrol fungsional (Neumann, Kinesiology of the Musculoskeletal System, 3rd ed., 2017).

Secara psikologis, Bu Ayu juga menunjukkan gejala alienasi tubuh — yaitu ketika tubuh tidak lagi terasa sebagai bagian dari diri sendiri. Dalam istilah Drew Leder (1990), ini disebut The Absent Body, ketika rasa sakit menciptakan jarak antara kesadaran dan tubuh fisik.


Fase 2 – Titik Balik: Rukuk Pertama Setelah 10 Tahun

testimoni skoliosis bisa sembuh tanpa operasi setahun tanpa korset tulang belakang

Perubahan signifikan terjadi saat Bu Ayu mengikuti pelatihan PAZ Basic di Malang. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun, ia mampu rukuk secara sempurna. Tanpa alat bantu, tanpa rasa sakit, dan bahkan menangis karena terharu bisa kembali menyatu dengan gerakan ibadah yang selama ini sulit dilakukan.

“Saya bisa rukuk 3 menit. Keringetan. Tapi nggak sakit.”

Dari perspektif biomekanika, perubahan ini bisa dikaitkan dengan postural realignment dan pelurusan tekanan pada segmen tulang belakang. Gerakan korektif yang dilakukan dalam PAZ mirip prinsip terapi somatik — mengaktifkan sistem proprioseptif tubuh untuk mengingat pola gerak yang benar (Myers, Anatomy Trains, 4th ed., 2020).

Ini juga menjadi validasi bahwa pendekatan non-farmakologis berbasis gerak bisa menghasilkan efek fisiologis langsung — sesuatu yang didukung juga oleh riset terbaru dalam fisioterapi berbasis gerakan aktif (Sahrmann, Movement System Impairment Syndromes, 2017).


Bagaimana PAZ Mengoreksi Tubuh Bu Ayu? Kalibrasi Rangka Head to Toe!

Dalam metode PAZ Al Kasaw, tidak ada jurus yang bekerja secara lokal.

Semua jurus utama — Hentak Kaki (HK), Cupit Udang (CU), dan Cabut Rumput (Tarik Sarung) — dirancang untuk mengembalikan keseimbangan seluruh rangka tubuh.

Ini bukan teknik pijat, bukan juga manipulasi sendi yang fokus pada bunyi kletak kletuk di tulang yang sifat lokal, tapi gerakan biomekanik yang menstimulasi kalibrasi sistemik.

jurus HK Urkud Birijlick PAZ terapi hentak kaki paz al kasaw

Hentak Kaki (HK)

Dilakukan dari posisi berdiri, lalu menghentakkan kaki dengan pola tertentu.

Ada pola HK jenis HK Pantel Nol, HK Pantel Satu, Ada juga HK Pantel Plus Plus (semua disesuikan dengan kaidah diagnosa).

HK, Bukan sekedar kaki menjejak ke bumi, Efeknya tidak berhenti di telapak kaki.

Ia memicu getaran kalibrasi dari tulang kaki, lutut, panggul, hingga ke tengkorak.

Sisi lompatannya juga memiliki dampak tersendiri, dimana founder PAZ menyampaikan, fase lompat adalah momen seluruh tubuh ‘merenggang’ secara rileks.

Gerakan ini menyelaraskan sumbu gravitasi tubuh, membangkitkan sistem saraf proprioseptif, dan goal maksimalnya mengembalikan rangka tubuh (termasuk letak serta fungsi organ yang ‘berpegangan’ pada rangka) kembali ke titik nol koma nol.

Pada Bu Ayu, gerakan ini dilakukan setiap pagi pasca Subuh — dan ia rasakan sendiri: tubuhnya lebih ringan, pernapasan lega, bahkan skoliosis-nya mulai terkoreksi secara alami.

HK tidak hanya mengoreksi skoliosis, banyak keluhan lain seperti masalah jantung, benjolan payudara, HNP, miom, masalah lutut juga terbantu wasilah jurus yang seperti permainan anak anak ini.

Cupit Udang (CU)

Dilakukan dalam posisi berbaring, dengan tangan mengunci bagian kepala, dan kaki menjepit seperti capit udang mencapit makanannya.

Efeknya bukan hanya di leher atau bahu, tapi seluruh sumbu rangka mengalami aktivasi tekanan dan traksi.

Bayangkan, bak sprei basah yang kemudian dipilin dari dua sisi sehingga hasilkan dua pilinan saling berlawanan.

Dari kepala sampai kaki terasa di peras, semua di kalibrasi.

Dari telapak kaki hingga kepala, semuanya dikompresi, dan diregangkan dalam satu rangkaian gerak.

Jurus ini menjadi bagian penting dalam terapi PAZ yang sedang dijalani. Bisa juga untuk menterapi yang ada di sekitar kita.

Karenanya, kita tau Jurus CU juga digunakan Bu Ayu untuk menangani anaknya yang cedera saat bermain.

Satu gerakan, satu napas, seluruh tubuh terkoreksi.

Cabut Rumput (Tarik Sarung)

Bayangkan posisi membungkuk seperti hendak mencabut rumput. Lutut, pinggang, tangan, dan punggung semuanya ikut aktif.

Dalam PAZ, gerakan ini memulihkan ketegangan kronis akibat postur menyimpang bertahun-tahun.

Bukan hanya pinggang atau punggung bawah, tapi juga aktivasi kuda-kuda kaki, bahu, dan tulang belakang tengah.

Jurus ini jadi andalan Bu Ayu saat terapi mandiri — ketika tubuhnya terasa “nggak enak”, ia tarik sarung (lebih praktis daripada harus cari rumput), dan tubuhnya tahu sedang dipulihkan.

Hulk

Berbeda dari jurus sebelumnya yang bekerja menyeluruh, Hulk lebih terfokus untuk bagian atas tubuh — pinggul ke atas, khususnya area pernapasan.

Dilakukan dalam posisi duduk setengah berdiri, dua tangan dilipat di depan dada, leher ditundukkan, lalu tangan dipakai untuk menarik dari dua sisi.

Efeknya menyasar kepala, leher, tulang dada, dan belakang rusuk — area penting yang menyangkut pernapasan, emosi, dan kestabilan kepala.

Dalam kasus Bu Ayu, Hulk membantu mengembalikan kesadaran napas, memperbaiki mobilitas tulang dada, dan melepaskan tekanan kronis di punggung atas akibat skoliosis.


Fase 3 – PAZ sebagai Gaya Hidup dan Sistem Pemberdayaan

Setelah tubuhnya mulai pulih, Bu Ayu tidak berhenti di titik sembuh. Ia justru memutuskan untuk belajar lebih dalam. Dari pelatihan PAZ Basic, lanjut ke PAZ Stroke, PAZ Jantung, hingga ikut hadir di berbagai event lanjutan. Di saat sebagian pasien hanya menunggu ditangani, Bu Ayu memilih untuk mempelajari tubuhnya sendiri dan membantu keluarganya sembuh.

“Saya tidak buka rumah terapi. Tapi saya jadi P3K keluarga. Anak dan suami saya tahu kapan harus terapi mandiri. Rumah kami adalah rumah terapi PAZ.”

Ini adalah contoh nyata dari transformasi peran. Dalam konsep rehabilitasi kontemporer, ini disebut sebagai empowerment-based rehabilitation — pasien tidak lagi pasif, tetapi aktif, mengambil peran sebagai subjek penyembuh dalam rumahnya sendiri (WHO, Community-Based Rehabilitation Guidelines, 2010).

Bu Ayu bahkan menerapkan ilmu PAZ untuk anaknya yang memiliki ASD (Autism Spectrum Disorder). Ia tidak mengajarkan jurus sebagai teknik medis, tetapi menjadikan gerakan PAZ sebagai bahasa tubuh dalam kehidupan sehari-hari.

“Anak saya ikut push-up di tembok, tahu cara buang ingus sendiri, dan mulai mengenali tubuhnya. Saya tidak mengajarinya terapi, saya mengajarinya mengenal tubuh.”

Dalam terapi okupasi modern, ini sejalan dengan prinsip environmental embedding — menciptakan ekosistem rumah yang mendukung praktik terapeutik, bukan memisahkannya sebagai sesuatu yang harus keluar rumah untuk dilakukan (Jacobs & Austin, Occupational Therapy: Strategies for the COTA, 5th ed., 2019).

Di sisi lain, Bu Ayu tidak membuka layanan publik seperti rumah terapi PAZ, namun aktif menyebarkan pengalaman dan semangat lewat media sosial, grup alumni, dan pelatihan. Ia menjadi contoh bahwa PAZ bukan milik para terapis saja, tetapi ilmu untuk siapa saja yang ingin memahami dan menyembuhkan diri secara alami.

“Kalau saya bisa sembuh, siapa pun bisa. Tapi jangan hanya nunggu sembuh. Belajarlah. Terapkan. Dan jadikan itu amal.”

Kutipan ini selaras dengan pesan pendiri PAZ, Ustadz Haris Moejahid rahimahullah, yang selalu mengingatkan:

“Prinsip PAZ: jadi pasien cukup sekali, lalu belajar, banyak praktik, dan bantu sembuhkan orang lain.”


Fase 4 – Memahami Kesembuhan sebagai Amanah

Kesembuhan bagi Bu Ayu bukan sekadar pulih dari kelumpuhan atau bebas dari kebas. Yang ia alami adalah kembalinya rasa menjadi manusia yang utuh — bisa rukuk, bisa sujud, bisa menggeliat, bisa memeluk anak tanpa takut nyeri.

“Saya bisa tidur tengkurap. Bisa rukuk sempurna. Dulu rasanya kaku kayak ikan pindang. Sekarang bisa sujud dan tenang.”

Dalam kajian psikologi syukur, pengalaman seperti ini sering disebut sebagai embodied gratitude — rasa syukur yang tidak hanya diucapkan, tapi benar-benar dirasakan secara fisik dan mengubah cara seseorang menjalani hidup (Emmons & Stern, 2013). Tubuh menjadi saksi bahwa nikmat itu nyata, bukan teori.

Secara spiritual, kesembuhan ini juga dimaknai sebagai pemulihan amanah, yaitu saat seseorang sadar bahwa tubuh adalah titipan dari Allah yang harus dijaga. Ketika bisa sujud kembali setelah 10 tahun, bukan hanya lutut yang bersentuhan dengan lantai, tapi hati ikut bersujud. Inilah momen paling dalam yang tidak bisa diukur alat medis apa pun.

“Saya menangis saat bisa rukuk pertama kali. Saya kangen sujud. Ternyata itu nikmat besar.”

Bagi Bu Ayu, kesembuhan justru membuka pintu amal. Ia tidak menunggu menjadi “ahli” untuk berbagi. Ia percaya, ilmu PAZ bukan sesuatu yang harus disimpan, tapi diamalkan. Sembuh itu bukan akhir, tapi awal untuk jadi manfaat.

“Ilmu PAZ itu seperti kunci. Kita buka, kita pakai, kita ajarkan. Kalau saya sembuh, kamu juga bisa. Tapi jangan pasif. Belajar. Praktek. Bantu orang lain.”

Dalam dunia terapi berbasis komunitas, ini disebut peer empowerment — proses di mana individu yang pernah mengalami penderitaan menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi orang lain (WHO, 2010).


📌 Refleksi Akhir Fase Ini

  • Tubuh Bu Ayu tak lagi jadi beban. Tapi kembali jadi teman.

  • Tempat ia bisa sujud, bergerak, dan hadir — dalam hidupnya, sepenuhnya.

  • Dan dari tubuh yang sembuh itu, lahir amal, lahir ilmu, lahir harapan untuk orang lain.


Diskusi: Antara Ilmiah, Konsistensi, dan Cara Pandang yang Perlu Diulas Ulang

Di banyak forum medis atau diskusi publik, nama PAZ Al Kasaw mungkin belum terdengar dalam publikasi jurnal bereputasi internasional. Metodenya pun tidak masuk dalam protokol EBM (Evidence-Based Medicine) konvensional. Hal ini sering dijadikan alasan untuk meragukan validitasnya. Tapi pertanyaannya: apakah ‘tidak tercatat dalam jurnal EBM’ otomatis berarti tidak ilmiah?

Dalam kajian filsafat ilmu, ilmiah tidak selalu berarti “berbasis laboratorium dan statistik”. Ilmiah adalah segala proses yang dapat diuji, direplikasi, diamati, dan memiliki pola yang konsisten secara rasional dan empiris. Inilah yang terjadi dalam praktik PAZ Al Kasaw.

Kasus Bu Ayu hanyalah satu dari ribuan kasus lain yang ditangani oleh para paztrooper — julukan bagi alumni pelatihan PAZ yang mempraktikkan metode ini. Polanya berulang: tubuh dibaca berdasarkan analisis visual struktur rangka, mengenali jalur keluhan melalui pola kenceng, kendor, dan melintir, lalu diterapkan jurus korektif biomekanik yang sesuai. Hasilnya? Ribuan orang mengalami perubahan fungsional: dari yang tadinya tidak bisa duduk, jadi bisa. Dari tidak bisa shalat berdiri, jadi rukuk dengan tenang.

Apakah itu kebetulan? Apakah itu semata efek placebo? Atau… apakah ini menandakan adanya sistematika ilmiah yang belum terpetakan oleh lensa EBM saja?

Dalam dunia riset, observasi berulang yang menghasilkan hasil konsisten adalah pondasi ilmiah itu sendiri. Bahkan di masa awal kedokteran, praktik seperti penemuan vaksin oleh Edward Jenner juga tidak langsung diterima hanya karena belum masuk kaidah formal sains saat itu. Seiring waktu, akumulasi bukti empiris membuat dunia ilmiah membuka diri.

PAZ Al Kasaw hari ini berada di titik yang sama: berbasis pengalaman lapangan, ribuan jam praktik, ribuan testimoni lintas keluhan, dan semua itu bisa diverifikasi, termasuk lewat kisah nyata Bu Ayu ini.

Alih-alih menutup pintu atas nama “tidak akademik”, mungkin saatnya kita bertanya balik:

Apakah kacamata kita dalam menilai ‘ilmiah’ masih relevan untuk semua jenis ilmu dan semua bentuk kesembuhan?

Membuka ruang pengakuan bukan berarti mengabaikan standar. Justru, dengan melihat data kualitatif secara terbuka, kita bisa menemukan sistematika baru, pendekatan baru, dan kemungkinan baru — sesuatu yang dulu pernah terjadi saat dunia mengenal akupunktur, bekam, ruqyah, herbal, dan refleksi, yang awalnya juga ditolak karena tidak “EBM”.


Penutup – Ilmu Tidaklah Yang Dari Laboratorium Saja

Tidak semua ilmu harus dimulai dari ruang laboratorium. Kadang, ilmu justru lahir dari tubuh yang luka, dari rasa sakit yang menahun, dari keheningan seorang ibu yang hanya ingin bisa rukuk dengan tenang.

Kisah Bu Ayu J Cahyasari bukan tentang keajaiban. Ia tidak sedang menawarkan metode serba bisa. Tapi kisah ini adalah undangan untuk kembali mendengarkan tubuh, mempelajari polanya, dan memahami bahwa banyak sekali hal dalam hidup ini — termasuk kesembuhan — yang bisa kita raih jika kita belajar menyentuh fitrah kita sendiri.

Metode PAZ Al Kasaw tidak menjanjikan sembuh semua. Tapi ia mengajak manusia untuk tidak pasrah dan pasif. Ia memberi alat berpikir, memberi jurus bergerak, memberi cara membaca tubuh yang sederhana — tapi berdampak nyata, jika dilakukan dengan niat, latihan, dan kejujuran.

Karena terkadang, yang dibutuhkan tubuh kita bukan alat canggih atau obat mahal,
tapi satu hal saja: dikenali, dipahami, lalu diajak pulang ke posisi idealnya.

Di tengah arus pemujaan pada teori dan jurnal, kata-kata pendiri PAZ Al Kasaw, Ustadz Haris Moejahid rahimahullah, terasa seperti teguran yang hangat:

“Ukuran kebenaran teori bukan dilihat dari njlimet dan kerennya bahasa, tapi bisa dibuktikan dan bermanfaat bagi masyarakat.”

PAZ hari ini telah dipelajari oleh lebih dari 20.000 alumni, tersebar di lebih dari 100 kota di Indonesia, dan menjangkau berbagai komunitas di luar negeri. Pelatihannya terbuka untuk siapa pun — baik yang ingin belajar menyembuhkan diri, maupun yang ingin menolong sesama.

Silakan bertanya. Silakan pelajari.
Karena mungkin, tubuhmu sedang menunggu kamu kembali.

Penyusun

Akhukum Fillah Anjrah Ari Susanto, S.Psi.

Penulis dan penyusun naskah ini adalah praktisi sekaligus edukator PAZ Al Kasaw yang telah aktif dalam pelatihan, pendampingan terapi, dan penyebaran edukasi pengobatan tradisional berbasis biomekanika. Ia dikenal sebagai perintis dokumentasi ilmiah berbasis narasi dalam komunitas PAZ, serta pengembang berbagai media pembelajaran untuk menyebarluaskan metode ini ke publik secara luas.

Melalui pendekatan riset kualitatif dan pengalaman langsung bersama pasien serta alumni pelatihan, Anjrah menyusun narasi ini untuk menjadi salah satu dokumentasi penting dalam literatur penyembuhan tradisional Indonesia yang dapat diverifikasi, didiskusikan, dan diwariskan secara ilmiah.

Kami sangat terbuka atas masukan dan saran konstruktif demi perbaikan di masa yang akan datang.

Proses penyusunan naskah ini didukung oleh pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) dari ChatGPT oleh OpenAI, untuk membantu dalam strukturisasi, pengolahan bahasa akademik, serta penyusunan ulang narasi agar dapat diakses oleh kalangan ilmiah dan umum secara setara.


Daftar Pustaka

  • Emmons, R. A., & Stern, R. (2013). Gratitude as a Psychotherapeutic Intervention. Journal of Clinical Psychology, 69(8), 846–855. https://doi.org/10.1002/jclp.22020

  • Greenhalgh, T., Howick, J., & Maskrey, N. (2014). Evidence based medicine: a movement in crisis? BMJ, 348, g3725. https://doi.org/10.1136/bmj.g3725

  • Jacobs, K., & Austin, N. (2019). Occupational Therapy: Strategies for the COTA (5th ed.). Wolters Kluwer.

  • Kirmayer, L. J. (2015). Embodiment and Healing: A Framework for Medical Anthropology. University of Toronto.

  • Leder, D. (1990). The Absent Body. University of Chicago Press.

  • Myers, T. W. (2020). Anatomy Trains: Myofascial Meridians for Manual and Movement Therapists (4th ed.). Elsevier.

  • Neumann, D. A. (2017). Kinesiology of the Musculoskeletal System: Foundations for Rehabilitation (3rd ed.). Elsevier.

  • Sahrmann, S. A. (2017). Diagnosis and Treatment of Movement System Impairment Syndromes. Elsevier Health Sciences.

  • Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research. SAGE Publications.

  • van Manen, M. (2016). Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing. Routledge.

  • World Health Organization. (2010). Community-Based Rehabilitation: CBR Guidelines. WHO Press. https://www.who.int/publications/i/item/9789241548052


Lampiran Lampiran

Lampiran 1: Timeline Status Facebook Bu Ayu J Cahyasari (2019–2022)

📆 1 September 2019 – Pesan Papap & Semangat Belajar PAZ

“Belajar yang tenanan Ma. Ben sembuhnya sempurnahh”
Begitu pesan papap.. Sekilas terharu ..
“Ben gak mijeti kaki kram kalau abis jalan jalan”
😑😐😑😐
Gak jadi terharu. tak peloroki.

Tapi saya tau usapan tangan beliau di kepala saat cium tangannya tadi ada doa untukku.
Bismillahitawakaltu ..
.
Tenanan -sungguh sungguh
Mijeti – mijetin
Peloroki – tak lirik kayak gini 🙄
.
#ikhtiar #paz #trainingbonuspulangkampung*


📆 4 September 2019 – Rukuk Pertama Kali Setelah 10 Tahun

Amazing ketika merasakan rukuk sempurna. Amazing setiap melakukan setiap rakaat cuman bisa netesin air mata. Allah tau rasa hati saya.
Saya masih ingin mengulang paz basic. Dan lanjut stroke dan jantung. Oktober nanti di Jatinangor sumedang bandung sonoan dikit.
Kenapa saya pengen belajar lagi? Setidaknya saya bisa menjaga keluarga saya, sekitar saya. Membumikan ilmu ini secara baik, hingga teman temanku tau dan bisa memilih dengan bijak.
Panjang ceritanya yaaaa..
Iyaaa ben kowe ngantuk
Semoga segala kebaikan untuk Ustadz Haris dan para paztrooper yang berjuang membantu banyak orang.


📆 7 September 2019 – Tentang Bedong dan Tulang Belakang

Bedong itu untuk menegakkan tulang belakang anak seperti tegaknya saat kita sholat.
Kakinya dilurusin to? Secara ngga langsung kamu sudah menyiapkan tubuhnya, melatih tubuhnya untuk sholat dengan benar dan tumaknina nanti.
Kok isoo miss?
Hmmm gak coyo arek iki..
#cahyasari #paz


📆 9 September 2019 – Lupa Rukuk karena 10 Tahun Pakai Korset

10 tahun dengan korset punggung, saya lupa bagaimana rukuk yang benar. Pake korset ya sebisanya rukuk.
Rabu 4 september 2019 merasakan nikmatnya dengan mata penuh air mata. Sesenggukan saat rukuk. Lebay?
Hehehehe.. 10 tahun saya tidak bisa rukuk sempurna dan tumaknina..
Semoga terus seperti ini. Saat sholat itulah tujuan belajar Paz. Agar kami sekeluarga sholat dengan khusuk dan nikmat. Dengan gerakan sempurna dan tanpa rasa sakit.


📆 10 September 2019 – Botol Puntir dan Latihan Hentak Kaki

Ini botol air mineral yang takpuntir.
Ibaratnya adalah tulang tengahku yang kemaren kepuntir. Ketika dibenerin, jika tidak melakukan terapi sendiri ya bisa jadi balik muntir.
Namanya tubuh selama 10 tahun sudah menyesuaikan ke kondisi kepuntir tadi, perlu tetap dilatih untuk gak balik muntir.

Kemaren selesai terapinya menyisakan mbendol dan rasa ketarik di bawah ketiak. Beberapa hari masih mbendol dan kram.
Senior cuman menyarankan hentak kaki. Awalnya 02. Sekarang 1–2.
Hentak kaki kanan 1, dan langkah 2 hentak kiri.
Pagi tadi sebelum tahsin. Selesai masalah ketiak itu. Masya Allah.
Hmmm jangan praktekin yaa. Kondisiku bisa berbeda denganmu.
Pun kamu melihat YouTube Paz Indonesia, jangan praktekin sembarangan.
Ngga sama kondisi setiap orang. Kudu melalui diagnosa sebelum bertindak. Salah hentak bisa makin parah.

📆 16 September 2019 – Skoliosis, HNP, dan Pulihnya Fungsi

TB Millier, Skoliosis, HNP lumbal 3–5, kebas dari paha sampai kaki, dan segala keterbatasan yang akhirnya membawa saya mengenal Paz.
Alhamdulillah..
Proses diagnosa visual, koreksi gravitasi, teknik Hulk yang kayak wrestling gitu, dan hasilnyaaa…
Saya bisa angkat koper sendiri. Saya bisa duduk dengan nyaman. Saya bisa rukuk dan sujud. Saya bisa jalan tanpa nyeri.
Masya Allah…
Saya tidak menyangka tubuh ini masih bisa kembali seperti ini.


📆 21 Oktober 2019 – P3K Keluarga dan Kasus Pinggang Tya

Hari ini Tya kejethit pas main basket.
Langsung nyamperin, “Mama, CU!”
Saya pegang kakinya, saya gerakin sedikit, saya angkat, “thek”… dia langsung nyengir.
“Enak banget Ma, bisa loncat lagi!”
Saya bukan terapis. Saya ibu rumah tangga. Tapi saya P3K buat anak saya.
Ilmu ini bukan buat buka rumah terapi. Ilmu ini buat rumah kita.


📆 26 September 2019 – Bisa Mulet Setelah 10 Tahun

Saya akhirnya bisa “mulet” lagi!
10 tahun terakhir tidur harus telentang. Kayak ikan pindang.
Sekarang bisa menggeliat bebas, bisa tidur tengkurap, bisa nyender.
Nikmat banget hal yang selama ini terlihat kecil.


📆 29 Oktober 2019 – Rukuk dan Hikmah dari Jantung Ibu

Belajar tentang jantung, saya jadi paham bahwa posisi tulang memengaruhi fungsi jantung.
Gerakan hentakan kaki bukan sekadar gerakan.
Ia mengaktifkan sistem tubuh, memperbaiki gravitasi tubuh, dan memulihkan aliran dalam.
Dan semuanya itu saya pelajari dari PAZ.


📆 9 November 2019 – Dijuluki “Mbak Ayu yang Bisa Rukuk Itu”

Beberapa teman menyapa saya, “Eh, mbak Ayu yang rukuk itu ya?”
Rasanya malu, tapi juga bersyukur.
Saya alumni skoliosis, HNP, TB otak.
Tapi sekarang saya bisa rukuk.
Dan saya ingin semua orang juga merasakan ini.


📆 10 November 2019 – Tangisan Melihat Orang Lain Sembuh

Hari ini saya melihat anggota tim saya mengalami perubahan luar biasa setelah terapi PAZ.
Saya nangis ndoprok.
Saya tahu rasa sakitnya. Saya tahu rasa harapannya.
Dan saya melihat Allah menyembuhkan satu demi satu… lewat jalan ini.


📆 11 November 2019 – PAZ dan Kekuatan Karinda

Kalau tubuh saya sehat karena PAZ, maka Karinda juga ikut kuat.
Karinda itu komunitas ibu-ibu binaan saya.
Kesehatan itu efek domino: Ibu sehat → keluarga kuat → usaha jalan.
Pinggang sehat, napas plong, bisa produktif.
Coba bayangin kalau masih kejepit dan beser, gimana bisa kerja?


📆 15 November 2019 – Bedong, Sistem Tulang, dan Mekanika Tubuh

Aku baru sadar, fungsi bedong bayi itu luar biasa.
Bukan cuma biar hangat, tapi buat meluruskan kerangka tubuh sejak dini.
Kalau tulangnya menyimpang, aliran darah dan getah bening juga bisa keganggu.
Jadinya? Ya sakit.
Ilmu PAZ ngajarin itu semua.


📆 25 Januari 2020 – Titik Terendah dan Jalan Pulang

Saya pernah di titik nyaris menyerah. Lumpuh total.
TB sampai ke otak. Pernah operasi paru. Pernah nanya ke diri sendiri: mau tetap waras, edan, atau… mati?
Tapi Allah kasih jalan.
Saya ketemu PAZ.
Bukan sekadar terapi, tapi ilmu buat ngerti tubuh, buat bangkit lagi.


📆 6 Juli 2020 – Lepas Korset Setelah 10 Tahun

Saya bukan terapis. Hanya ibu rumah tangga.
Tapi saya bisa P3K untuk keluarga saya.
Rukuk tanpa korset.
Anak dan suami paham cara terapi sendiri.
Ilmu PAZ ini mudah dipahami, bisa dipraktikkan, dan yang penting… nggak menakutkan.


📆 8 Juli 2020 – Tibi, Sholat, dan Mandi Subuh

Anak saya yang kena tibi mulai terbiasa mandi sebelum subuh.
Push-up di tembok, sikat gigi, latihan kecil-kecil.
Saya tidak ngajarin terapi. Saya ngajarin dia jaga fitrah tubuhnya.
Lingkungan bisa jadi terapi terbaik, apalagi buat anak ASD.


📆 14 September 2020 – Hanya Butuh 40 Menit untuk Rukuk

Ditangani Pak Laks. Cuma 40 menit.
Suruh rukuk. Bisa.
Habis itu? Saya nggak pernah terapi lagi.
Cuma latihan setiap pagi.
Hentak kaki, tarik sarung.
Tubuh bisa diajak kerja sama lagi.


📆 31 Mei 2021 – Belajar Patuh, Tubuh Ikut Sehat

Pandemi ngajarin saya patuh.
Nggak ke mal. Nggak dolan. Makan bakso aja di mobil.
Tapi hasilnya? Kolesterol, gula darah, asam urat… semua normal.
Saya belajar: kalau hati happy, tubuh ikut sembuh.


📆 15 Mei 2022 – Dari Sandal Jepit ke Jalan Tol

Dulu kaki saya nggak bisa pakai sandal jepit. Sarafnya cuma berfungsi 30%.
Papi nyuruh saya nyetir sendiri. Bahkan ke luar kota.
Sekarang? Bisa bawa mobil sendiri. Di tol.
PAZ ngajarin saya mandiri.
Tubuh saya… pulang.


Lampiran 2: Transkrip Wawancara Bu Ayu J Cahyasari (Live 12 Agustus 2020)

talkshow pengobatan skoliosis HNP dan Tuberkulosis Otak dengan APZ Al kasaw

Saya mentranskrip dari video youtube PAZ Al Kasaw Ini

Bagian 1: Awal Cerita – Titik Nol dari Tubuh yang Kembali

“Nama saya Ayu Cahya Sari, tinggal di Depok, asli Malang. Saya kenal PAZ itu karena ikut pelatihan di Malang, 2 September.”

“Tapi cerita saya dimulai jauh sebelumnya… tahun 2008, tepatnya 17 Agustus, saya kolaps. Divonis menderita TB, awalnya TB biasa. Tapi ternyata jenis TB Millier — menyebar titik-titik ke banyak bagian tubuh.”

“Penyakit itu menyerang tulang belakang saya, bahkan sampai ke otak. Kalau di rontgen, lumbal 3, 4, 5… T10 dan T12 itu bolong. Ada yang cuma tersisa seperempat. Saya sampai nggak bisa duduk, cuma bisa tidur. Dari Oktober sampai Desember 2008 saya lumpuh total.”


Bagian 2: Keterbatasan Fisik yang Lama dan Dalam

“Saya pakai rompi seperti robot, dari Mika, buat menyangga punggung. Nggak bisa pakai sandal jepit — jempol saya nggak bisa menggenggam talinya. Antara kaki dan sandal selalu lepas. Jalan pun susah, semua bagian tubuh saya seperti kebas.”

“Dulu saya merasa: ya sudah, ini takdir saya. Saya bertahan, saya ikhlas. Tapi dalam hati tetap ingin bisa bangun dan bergerak lagi.”


Bagian 3: Bertemu PAZ dan Momen Transformasi

“Ketika ikut pelatihan PAZ pertama kali, saya awam banget. Tapi ustadz Haris ngajarin dengan bahasa yang mudah. Hari kedua kita langsung praktik. Saya yang awam ini bisa bantu orang lain — itu luar biasa.”

“Lalu saya sendiri diterapi. Efeknya langsung terasa. Bahkan hari itu, saya bisa rukuk dan sujud tanpa rasa sakit untuk pertama kalinya dalam 10 tahun. Nangis banget.”


Bagian 4: Proses Belajar dan Praktik Mandiri

“Saya latihan sendiri di rumah. Hentak kaki, tarik sarung, gerakan PAZ yang saya pelajari. Kalau terasa nggak nyaman, saya langsung tahu bagian mana yang bergeser.”

“Suami saya juga bisa bantu koreksi kalau saya capek. Anak-anak saya pun tahu CU, tahu kuda-kuda. Kami satu keluarga saling rawat dengan ilmu PAZ.”


Bagian 5: Tentang Anak dan Pentingnya Mandiri

“Anak saya berkebutuhan khusus (ASD). Tapi setelah rutin latihan kecil seperti push-up di tembok, mandi sebelum subuh, dan sholat disiplin, dia jadi lebih stabil.”

“PAZ ngajarin saya untuk jadi P3K keluarga. Nggak harus jadi terapis buka rumah terapi. Tapi cukup bisa tangani diri dan keluarga. Itu luar biasa nilainya.”


Bagian 6: Refleksi, Rasa Syukur, dan Ajakan Belajar

“Saya nunggu 10 tahun. Sembuh itu bukan karena satu hal aja. Tapi PAZ menyempurnakan semua ikhtiar saya, secara fisik dan spiritual. Saya belajar bersyukur dari tubuh saya sendiri.”

“Saya ikut pelatihan PAZ sampai 3 kali. Kenapa? Karena setiap kali ada yang baru, saya ingin terus upgrade. Karena sakit bisa datang kapan saja. Tapi ilmu PAZ ngajarin saya: jangan pasrah, pahami tubuhmu.”

“Kalau kamu nanya perlu nggak ikut pelatihan PAZ? Menurut saya… perlu banget. Ilmu ini memberdayakan. Ilmu ini bikin kamu nggak panik kalau keluarga kena musibah. Kamu tahu harus ngapain.”

Bagian 7: Dari Sakit Menjadi Jalan Amal

“Saya pernah di titik gelap. Lumpuh. TB otak. Pernah berpikir: apakah saya akan begini selamanya? Tapi ternyata Allah kasih jalan. Saya dituntun sampai ketemu PAZ. Dan bukan hanya sembuh… saya jadi bisa bantu orang lain.”

“Saya pernah bantu saudara saya sendiri, yang susah jalan karena masalah tulang belakang. Saya diagnosa, saya bantu jurus, dan MasyaAllah… dia bisa berdiri tegak. Saya cuma ibu rumah tangga, tapi bisa bantu orang lain dengan ilmu PAZ.”


Bagian 8: Bukan Sembuh Total, Tapi Pulang ke Tubuh

“Saya tidak bilang saya 100% sembuh. Tapi sekarang saya kenal tubuh saya. Saya tahu kalau ada rasa nggak nyaman, saya tahu apa yang perlu saya hentakkan. Saya tahu kalau saya stres, bagian mana yang bakal kenceng. Saya kenal tubuh saya, dan itu membuat saya merasa pulang.”

“Dulu saya takut mati. Sekarang saya nggak takut, karena saya sudah bangkit. Dan saya tahu hidup ini masih panjang. Saya ingin ilmu ini jadi bekal hidup. Dan kelak jadi amal jariyah.”


Bagian 9: Untuk Siapa Pun yang Masih Ragu

“Saya tahu, banyak orang yang belum yakin. Apalagi kalau belum pernah merasakan sendiri. Tapi buat saya, PAZ bukan hanya ilmu — ini jalan pulang. Jalan pulang ke tubuh saya sendiri. Jalan pulang ke sujud saya.”

“Jangan tunggu sakit parah baru belajar. Jangan nunggu orang lain yang obati kita. Belajar. Pahami. Terapkan. Dan kalau kamu sembuh, bantu orang lain. Karena ilmu ini bukan cuma tentang diri sendiri. Ini tentang jadi manfaat buat banyak orang.”


Penutup Transkrip

“Saya bersyukur pernah sakit. Karena dari situlah saya belajar sabar. Belajar pasrah. Belajar paham tubuh. Dan belajar jadi manusia yang utuh.”

“PAZ bukan cuma jurus. Bukan cuma koreksi. Tapi PAZ itu pemahaman — bahwa tubuh kita punya fitrah. Dan ketika kita menyentuh fitrah itu… kesembuhan bisa terjadi dengan cara yang tak terduga.”


Abstrak

Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk menggali makna kesembuhan tubuh dari perspektif pasien kronis non-medis, melalui pengalaman empirik Bu Ayu J Cahyasari — seorang ibu rumah tangga yang sebelumnya mengalami skoliosis, HNP lumbal 3–5, kebas perifer, serta tuberkulosis Millier yang menyebar hingga ke otak.

Selama lebih dari satu dekade menjalani pengobatan medis konvensional, subjek tidak mengalami pemulihan fungsional secara signifikan. Titik balik terjadi setelah ia mengikuti pelatihan terapi PAZ Al Kasaw, sebuah pendekatan koreksi rangka tubuh berbasis biomekanik sederhana yang dikembangkan secara mandiri oleh komunitas pengobatan tradisional di Indonesia. Studi ini merekonstruksi perjalanan penyembuhan subjek melalui dokumentasi testimoni naratif (2008–2022), transkrip wawancara langsung, serta pengamatan berkelanjutan terhadap praktik terapi mandiri subjek pasca pelatihan.

Analisis tematik menunjukkan bahwa kombinasi jurus terapi seperti Hentak Kaki (HK), Cupit Udang (CU), Cabut Rumput (Tarik Sarung), dan Hulk berperan dalam menciptakan kalibrasi sistemik terhadap struktur rangka subjek, yang mengarah pada pemulihan fungsi tubuh secara menyeluruh (head-to-toe alignment). Efek terapi dirasakan tidak hanya secara fisik, tetapi juga berdampak pada kualitas hidup, spiritualitas tubuh, serta pemaknaan ulang terhadap peran diri dalam keluarga dan masyarakat.

Temuan ini memberikan kontribusi penting dalam wacana keilmuan alternatif di luar paradigma Evidence-Based Medicine, dengan menekankan pentingnya pengalaman tubuh sebagai data valid, serta keberdayaan pasien dalam proses penyembuhan. Studi ini juga mengusulkan perlunya pengembangan kerangka evaluasi terapi tradisional berbasis narasi dan observasi fungsional, sebagai jalan tengah antara kebijaksanaan lokal dan kebutuhan akademik.

Kata kunci: PAZ Al Kasaw, biomekanika tubuh, studi fenomenologi, terapi tradisional Indonesia, skoliosis, kesembuhan non-medis, kalibrasi rangka, empowering healing


Abstract

This qualitative research, employing a phenomenological approach, aims to explore the lived experience of healing from chronic illness beyond biomedical paradigms. The subject, Ayu J Cahyasari — a housewife from Indonesia — previously suffered from scoliosis, lumbar herniated nucleus pulposus (HNP) at L3–L5, peripheral numbness, and disseminated Millier tuberculosis reaching the brain.

Over a decade of conventional medical treatment yielded no substantial functional recovery. A pivotal transformation occurred after she attended training in PAZ Al Kasaw therapy, a biomechanical-based traditional therapeutic method developed independently by an Indonesian health movement. This study reconstructs her healing journey through longitudinal testimonial documentation (2008–2022), live interview transcripts, and post-training observation of self-directed therapy practices.

Thematic analysis revealed that a combination of key therapeutic movements — namely Hentak Kaki (heel stomping), Cupit Udang (shrimp clamp), Cabut Rumput (grass pulling), and Hulk — produced systemic skeletal calibration (head-to-toe alignment), resulting in gradual yet sustained functional recovery. The impact extended beyond physical restoration, affecting her spiritual connection with the body, relational roles within the family, and a renewed sense of purpose.

This study contributes to the discourse on alternative epistemologies of health by affirming the legitimacy of embodied narratives and patient agency in the healing process. It further proposes the development of functional-observation-based frameworks for evaluating traditional therapies, bridging indigenous wisdom and contemporary scientific inquiry.

Keywords: PAZ Al Kasaw, body biomechanics, phenomenological study, Indonesian traditional therapy, scoliosis, non-medical healing, skeletal calibration, patient empowerment


Metadata Naskah

Judul
Kisah Bu Ayu J Cahyasari | Studi Kualitatif atas Pengalaman Kesembuhan dengan Terapi PAZ Al Kasaw

Jenis Naskah
Studi kualitatif naratif berbasis fenomenologi

Tema Utama
Pengalaman penyembuhan non-medis berbasis koreksi biomekanik sistem rangka (PAZ Al Kasaw)

Penulis & Penyusun
Disusun oleh: Anjrah Ari Susanto, S.Psi.
Editor akademik: Anjrah Ari Susanto, S.Psi.
Sumber utama: Testimoni langsung dan wawancara dengan Bu Ayu J Cahyasari
Ilustrasi narasi & layout:

Tanggal Publikasi Pertama
Kamis, 10 April 2025

Bahasa
Bahasa Indonesia (dengan versi abstrak Bahasa Inggris)

Lokasi Penelitian
Depok – Indonesia (dokumentasi naratif)
Pelatihan PAZ di berbagai kota (Malang, Jatinangor, dll.)

Format Publikasi
Artikel Website

Versi
Versi 1.0 – Publikasi awal

Hak Cipta
Seluruh isi naskah ini dilindungi hak cipta. Diperbolehkan disebarluaskan sebagian atau seluruhnya untuk keperluan edukasi, dakwah, dan dokumentasi ilmiah, dengan menyebutkan sumber asli. Dilarang memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari penyusun.

Kontak
Untuk pertanyaan, kolaborasi, atau permintaan pelatihan PAZ Al Kasaw:
Website: https://pazindonesia.com
WhatsApp Pusat: Klik Di sini
Instagram: @pazalkasaw
Email: pazalkasaw@gmail.com


Peringatan Hak Cipta

Naskah ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta dan etika ilmiah.
Seluruh isi, termasuk struktur narasi, interpretasi analitis, susunan testimoni, dan penyajian data, tidak diperkenankan:

  • Diperjualbelikan ulang dalam bentuk komersial tanpa izin tertulis.

  • Disalin secara utuh tanpa mencantumkan sumber dan penyusun asli.

  • Diubah isinya secara sepotong untuk kepentingan pribadi yang menyesatkan.

Namun, naskah ini diperbolehkan untuk disebarkan ulang secara bebas untuk tujuan edukasi, dakwah, dokumentasi ilmiah, dan pemberdayaan masyarakat, selama tidak mengubah isi, tetap mencantumkan nama penyusun, dan menyebutkan bahwa proses ini disusun bersama AI ChatGPT dari OpenAI.

Hormatilah proses dan perjalanan yang panjang dalam penyusunan karya ini.
Karena ilmu bukan hanya hasil berpikir, tetapi juga hasil adab, niat, dan amanah.

Tuliskan Komentar Atau Pertanyaanmu:

Your email address will not be published. Required fields are marked *